Selasa, 22 September 2009

Wah.. Noordin Sebar Panduan dan Kembangkan Jaringan Pembuat Bom


Laptop Berisi Cara Merakit Bahan Peledak
Penyidik Densus 88 Mabes Pol­ri ternyata belum bisa berlebaran dengan tenang. Se­bab, dalam dokumen dan laptop yang ditemukan saat penggerebekan rumah kontrakan Hadi Susilo di Mo­josongo, Jebres, Solo, Kamis lalu, Noordin terbuk­ti sedang mengembangkan jaringan pembuat bom.

”Dia hendak menyebar dokumen perakitan bom. Di laptopnya ada file itu,” kata seorang sumber Ja­wa Pos di Mabes Polri kemarin (18/9). Polisi menduga dokumen tersebut akan digandakan. ”Tapi, bisa juga sudah digandakan dan sekarang menyebar,” ujarnya.

Dalam file berformat pdf (adobe) itu secara jelas diuraikan cara mencari bahan, merakit, dan meledakkan. ”Dibuat secara rapi bab per bab,” ung­kapnya.

Sumber itu mengutip sebagian kalimat dalam dokumen tersebut. ”Bagian logistik mereka harus membuat tempat-tempat penyimpanan dan mengemasnya dengan baik sesuai dengan masing-masing senjata agar tidak hilang atau tertinggal di saat pelaksanaan amaliyat (serangan). Itu kutipan di awal-awal, tentang penyimpanan,” jelasnya.

Panduan tersebut juga dilaksanakan. Buktinya, di lokasi ditemukan 200 kg bahan bom berupa black powder dan senjata api. Dalam bab tentang pelaksana­an amaliyat di dokumen itu di­sebutkan, ”Demikian juga dengan bagian survey harus mampu menghadirkan data dan informasi yang valid tentang target sehingga perencanaannya menjadi matang dan para eksekutor tidak mengalami pendadakan di saat menunaikan tugasnya.”

Hal itu membuktikan kelompok Noordin sangat paham bahwa me­reka hidup dalam buruan. Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri (BHD) saat mengumumkan hasil operasi di Mojosongo, Kamis sore (17/9), mengungkapkan bah­wa Densus 88 juga mendapatkan alat-alat pengintaian dan surveillance (pengamatan) yang digunakan Noordin cs. ”Mereka mempelajari dulu target dengan alat-alat itu,” katanya.

Alat tersebut, antara lain, teropong binocular, handycam, dan kamera digital dengan lensa SLR. Menurut sumber Jawa Pos, dalam dokumen laptop ada pula bab tadrib takhasus (latihan khusus). ”Yang kami maksud model tadrib takhasus seperti ini adalah kemahiran dan kemampuan untuk menyesuaikan penggunaan senjata, apa pun jenisnya, untuk keperluan tertentu dan kejelian menyimpannya. Termasuk, kemahiran dan kepekaan saat membawa hingga sampai ke tempat target dan pelaksanaan amaliyat,” ujar sumber itu mengutip dokumen.

Perwira yang pernah ke Singa­pura untuk kursus antiteror ter­se­but menduga dokumen itu bersumber dari kitab Mudzakaratul Amni milik Tanzim (struktur) Al Qaidah. ”Buku itu sangat bermu­tu dan lengkap,” tegasnya.

Selain itu, dalam bab intelijen, dokumen di laptop Noordin menyalin dari buku Mausuah Jihad Afghan. ”Mungkin mereka berpikir me­rekrut sebanyak mungkin simpatisan dengan dokumen itu,” ujarnya.

Ditemukan dokumen Al Qaidah Asia Tenggara dalam bahasa Arab di ransel Noordin. Dokumen tersebut menyebutkan prosedur-prosedur kaderisasi serta langkah-lang­kah menyelamatkan organisasi. ”Sekarang sedang dilakukan veri­fikasi dengan ahli bahasa soal oten­titas dokumen,” tuturnya.

Dalam dokumen itu dinyatakan, pusat Tanzhim Al Qaidah di Afghanistan secara resmi mengakui Noordin, Syahrir, Syaefuddin Jae­lani, dan Ibrohim sebagai pimpinan wilayah Asia Tenggara. Dise­butkan pula, Al Qaidah akan men­dukung dan membela semua tin­dakan kelompok Noordin di Asia Tenggara. ”Saya tak bisa berikan dokumen tersebut. Itu bagian dari pengembangan kasus,” tegas sumber tersebut saat Jawa Pos meminta izin memfotokopi.

Soal senjata kelompok Noordin, perwira itu menjelaskan bahwa sen­jata tersebut adalah sisa-sisa kon­flik Poso 2007, namun terawat dengan baik. ”M-16 dan Baretta milik Noordin identik dengan senjata sejenis yang banyak beredar di Poso saat konflik 2006-2007. Mungkin sisa senjata di Tanah Runtuh, Gebang Rejo, Poso,” jelasnya.

Saat baku tembak di Mojosongo, Kamis dini hari, senjata itu berfungsi baik. ”Mereka panik karena tak menduga akan dikepung,” ujarnya. Dia menduga Noordin sedang mampir di rumah Hadi Su­silo. ”Fokus kami saat itu ha­nya Urwah. Alhamdulillah dapat Noordin,” ungkapnya.

Karena ”hanya” Urwah, Densus cuma mengerahkan 15 personel CRT (Crisis Response Team, tim penyergap). Itu sangat jauh berbeda saat penggerebekan di Temanggung yang menurunkan lebih dari 250 personel. ”Memang hanya 15,” tegas Kadivhumas Mabes Polri Irjen Nanan Soekarna saat dikonfirmasi.

Mantan anggota JI Nasir Abbas juga menduga Noordin sekadar ber­konsolidasi di Mojosongo. ”Ka­lau sampai sembunyi bersama, itu jelas melanggar aturan agar melarikan diri secara terpisah. Apalagi, Aji dan Urwah sudah di­nyatakan sebagai DPO,” jelasnya.

Atau, Noordin memang sedang dalam posisi terkunci. ”Dia se­da­ng merencanakan serangan lanjutan. Karena itu, dia memanggil Ur­wah dan Aji melalui kurir untuk rapat darurat di rumah Susilo,” katanya. Menurut standar kelompok tersebut, dalam kondisi darurat, senjata harus selalu dibawa.

Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri mengonfirmasi sejumlah dokumen dan file penting yang ditemukan Densus 88 di rumah Susilo. ”Itu untuk konsumsi internal. Dokumen-dokumen tersebut sedang dikembangkan,” ujarnya di Istana Negara kemarin (18/9).

Di bagian lain, sumber Jawa Pos di lingkungan intelijen teritorial Mabes TNI menyebutkan, sejumlah orang dari Timur Tengah ber­gerak ke Solo pada hari penggere­bekan Noordin. ”Mereka bertemu seorang ustad karismatis. Ada tujuh orang dari dua negara. Mereka dilindungi sebuah kedutaan,” katanya menolak menyebutkan asal negara orang-orang itu.

Siapkan Pengantin

Meski kurang dari lima bulan me­ngontrak rumah di Dukuh Kepuhsari, Mojosongo, Jebres, Hadi Su­silo alias Adib berhasil menjaring 18 santri untuk mengaji di teras rumahnya. Dia juga berhasil mendidik empat santri untuk bela diri di luar sepengetahuan kedua orang tua santri yang bersangkutan.

Empat santri yang sempat dididik silat dan ngaji oleh Adib tersebut adalah KYP, 10; IP, 11; AB, 12; serta DN, 11. Selama diajar berlatih silat, mereka dilarang memberi tahu kedua orang tuanya. ”Mas Adib berpesan agar kami tidak cerita ke orang tua,” ungkap AB, siswa kelas 1 SMP negeri di Solo, kemarin siang (18/9).

Didampingi tiga temannya, AB mengaku bahwa Adib tidak mau mem­berikan ilmu selain silat kare­na mereka dinilai terlalu kecil. ”Kami diajar silat biar berani meng­hadapi masalah atau saat ketemu orang jahat,” ungkap AB polos.

Menurut AB, latihan silat tersebut dilakukan setiap Senin sekitar pukul 17.00 seusai mengaji bersa­ma belasan santri lain di teras rumah Adib. ”Biasanya kalau habis mengaji, kami diberi jajan atau snack. Setelah teman-teman yang lain pulang, kami kemudian berlatih silat seperti pukulan, tangkisan, dan cara menendang,” jelas KYP yang sempat memeragakan teknik silat yang diajarkan Adib di hadapan sejumlah wartawan.

KYP dan AB menyatakan, mere­ka baru tadi pagi mengaku kepada orang tua bahwa sempat dilatih silat. Pengakuan tersebut diungkapkan setelah mereka mengetahui Adib alias Hadi Susilo tewas saat digerebek Densus pada Kamis lalu. ”Saya takut nanti dipripeni (didatangi saat mimpi) Mas Adib, jadi saya bilang sama ibu,” kata bocah berbaju kuning itu.

Suratmin, ketua RT 3, RW 2, Dukuh Kepuhsari, Mojosongo, Jebres, saat ditemui di rumahnya kemarin menuturkan, selama ini Putri Munawaroh, istri Hadi Susilo, memang dikenal mengajar TPA di rumahnya. Namun, para te­tangga juga tidak pernah curiga atau melapor ke RT seputar aktivitas tersebut. ”Saya juga tidak tahu dan tidak pernah ada laporan soal latihan silat itu,” ujarnya.

Sumber

Memburu Jejak Teroris DISINI






Sumber: slocybercity

0 komentar:

Posting Komentar

 
Powered by Blogger